Selasa, 18 Oktober 2016

etika bisnis

Prinsip – Prinsip Etika Bisnis

Dalam bab sebelumnya kita sudah menunjukan bahwa bisnis mempunyai etika. Namun, kalo bisnis punya etika, maka pertanyaan yang segera timbul adalah manakah norma – norma atau prinsip etika yang berlaku dalam kegiatan bisnis. Apakahprinsip-prinsip itu berlaku universal, terutama mengingat kenyataan mengenai bisnis globalyang tidak mengenal batas negara- negara dewasa ini? Demikian pula, bagaimana caranya agar prinsip – prinsip tersebut bisa operasional dalam kegiatan bisnis?
1.      Beberapa prinsip umum etika bisnis
Secara umum, prinsip – prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia. Demikian pula,prinsip – prinsip etika bisnis yang berlaku di indonesia akan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai masyarakat kita. Karena itu, tanpa melupakan kekhasan sistem nilai dari setiap masyarakat bisnis, disini secra umum dapat dikemukakan beberapa prinsip eika bisnis tersebut.
*      Prinsip Otonomi
Otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Orang bisnis yang otonom adalah orang yang sadar sepenuhnya akan apa yang menjadi kewajibannya dalam dunia bisnis. Ia tahu mengenai bidang kegiatannya, situasi yang dihadapinnya, apa yang diharapkan darinya, tuntutan dan aturan yang berlaku bagi bidang kegiatannya, sadar dan tahu akan keputusan dan tindakan yang akan diambilnya serta resiko dan akibat yang akan timbul baik bagi dirinya dan perusahaannya maupun bagi pihak lain.
Otonoi juga mengandaikan adanya tanggung jawab. Ini unsur lain lagi yang sangat penting dari prinsip otonomi. Orang otonom adalah orang yang tidak saja sadar kewajibannya dan bebas mengambil keputusan dan tindakan berdasarkan apa yang dianggapnya baik, melainkan juga orang yang bersedia mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakannya serta mampu dan bertanggung jawab atas keputusan dan tindakannya serta dampak dari keputusan dan tindakannya itu. Sebaliknya, hanya orang yang bebas dalam menjalankan tindakannya bisa dituntut unuk bertanggung jawab atas tindakannya. Jadi, orang yang otonom adalah orang yang tahu akan tindakannya, bebas dalam melakukan tindakannya, tetapi sekaligus juga bertanggung jawab atas tindakannya. Ini unsur – unsur yang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya.
Kesediaan bertanggung jawab ini oleh Magnis-Suseno disebut sebagai kesediaan untuk mengambil titik pangkal moral. Artinya, dengan sikap dan kesediaan untuk bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakan yang diambil bisa dimungkinkan proses pertimbangan moral. Bahkan, menurut Magnis, prinsip moral yang lain baru bisa punya arti dan dilaksanakan jika ada kesediaan untuk bertanggung jawab.
Kesediaan bertanggung jawab tidak hanya merupakan titik pangkal moral melainkan juga adalah konsekuensi dari sikap moral. Atau, dirumuskan secara lain, kesediaan bertanggung jawab merupakan ciri khas dari makhluk bermoral. Orang yang bermoral adalah orang yang selalu bersedia untuk bertanggung jawab atas tindakannya.
Secara khusus dalam dunia bisnis, tanggung jawab moral yang diharapkan dari setiap pelaku bisnis yang otonom punya dua arah. Yang paling pokok adalah tanggung jawab terhadap diri sendiri. Dihadapan diri sendiri setiap orang akan telanjang tanpa ada yang ditutup – tutupi. Ia tidak bisa menipu dirinya. Karena itu, yang paling pokok adalah apakah keputusan dan tindakan bisnis yang dilakukan bisa dipertanggung jawabkan bagi diri sendiri, bagi suara hati pribadi. Orang bertanggung jawab aan merasa tenang, OK dengan diri sendiri, dan bahkan bangga dan kuat dengan keputusan dan tindakannya, kendati mungkin tidak dipuji oleh pihak lain, tanpa harus menjadi arogan dan tidak peduli.
Yang kedua, tanggng jawab moral juga tertuju kepada semua pihak terkait yang berkepentingan (stakeholder): konsumen, penyalur, pemasok, investor, atau kreditor, karyawan, masyarakat luas, relasi – relasi bisnis, pemerintah, dan seterusnya. Artinya, apakah keputusan dan tindakan bisnis yang diambil secara sadar dan bebas tadi, dari segi kepentingan pihak – pihak terkait itu, dapat dipertanggung jawabkan secara moral.

*      Prinsip Kejujuran
Sekilas kedengarannya aneh bahwa kejujuran merupakan prinsip etika bisnis karena mitos keliru bahwa bisnis adalah kegiatan tipu – menipu demi meraup untung.
Kejujuran dalam berbisnis adalah kunci keberhasilan.
Pertama, kejujuran relevan dalam pemenuhan syarat – syarat perjanjian dan kontrak. Dalam mengikat perjanjian dan kontrak tertentu, semua pihak seara a priori saling percaya satu sama lain, bahwa masing masing pihak tulus dan jujur dalam membuat perjanjian dan kontrak itu dan kontrak lebih dari itu serius serta tulus dan jujur melaksanakan janjinya.
Kedua, kejujuran relevan dalam penawaran barang dan jasa dengan mutu dan harga dan sebanding.Sebagaimana sudah dikatakan didepan, dalam bisnis modern penuh persaingan, kepercayaan konsumen adalah hal yang paling pokok. Maka, sekali pengusaha menipu konsumen, entah melalui iklan, entah melalui pelayanan yang tidak etis sebagaimana di gembar – gemborkan, konsumen akan dengan mudah lari ke produk lain.
Ketiga, kejujuran juga relevan dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan. Omong kosong bahwa suatu perusahaan bisa bertahan kalo hubungan kerja dalam perusahaan itu tidak dilandasi oleh kejujuran, kalo karyawan ditipu oleh atasan dan sebaliknya atasan terus – menerus ditipu oleh karyawan. Maka, kejujuran dalam perusahaan justru adalah inti dan kekuatan perusahaan itu.


*      Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan menuntut agara setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai dengan kriteri yang rasional, objektif dan dapat dipertanggungawabkan. Demikian pula, prinsi keadilan menuntut agar setiap orang dlam kegiatan bisnis entah dalam reaksi eksternal perusahaan maupun reaksi internal perusahaan perlu diperlakukan sesuai dengan haknya masing-masing. Keadilan menuntut agar tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya.

*      Prinsip Saling Menguntungkan (Mutual Benefit Principal)
Prinsip ini menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak. Jadi, kalau prinsip keadilan menuntut agar tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya, prinsip saling menguntungkan secara positif menuntut hal yang sama, yaitu agar semua pihak berusaha untuk saling menguntungkan satu sama lain.

*      Prinsip Integritas Moral
Prinsip ini terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan agar di perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baiknya atau nama baik perusahaannya. Ada sebuah imperatif moral yang beraku bagi dirinya sendiri dan perusahaannya untuk berbisnis sedemikian rupa agar dipercaya, tetap paling unggul, tetap yang terbaik. Dengan kata lain, prinsip ini merupakan tuntutan dan dorongan dari dalam diri pelaku dan perusahaan untuk menjadi yang terbaik dan dibanggakan. Menurut Adam Smith prinsipno harm (tidak merugikan hak dan kepentingan orang lain) merupakan prini paling minim dan paling pokok yang harus ada bagi interaksi sosial manapun, termasuk bisnis.
Yang menarik pad prinsip no harm adalah bahwa sampai tingkat tertentu dalam prinsip ini telah terkandung semua prinsip etika bisnis lainnya. Dalam prinsip no harm sudah dengan sendirinya terkandung prinsip kejujuran, saling menguntungkan, otonomi (termauk kebebasan dan tanggung jawab), dan integritas moral. Orang yang jujur dengan sendirinya tidak akan merugikan orang lain; orang yang mau saling menguntungkan dengan pihak lain tentu tidak akan merugikan pihak lain itu; dan demikian pula orang yang otonom dan bertanggung jawab tidak akan mau merugikan orang lain tanpa alasan yang dapat diterima dan masuk akal.
Pada akhirnya prinsip ini menjadi dasar dan jiwa dari semua aturan  bisnis dan sebaliknya semua praktek bisnis yang bertentangan dengan prinsip ini harus dilarang. Maka, misalnya, monopoli, kolusi, nepotisme, manipulasi, hak istimewa, perlindungan politik, dan seterusnya harus dilarang karena bertentangan dengan prinsip no harm.
Prinsip keadilan, khususnya no harm, merupakan rumusan lain dari The Golden Rule (Kaidah Emas) yang klasik itu : Perlakuan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan, dan jangan lakukan pada orang lain apa yang Anda sendiri tidak ingin dilakukan pada Anda. Prinsip no harm, daar moralnya adalah bahwa setiap orang adalah manusia yang sama harkat dan martabatnya. Maka, apa yang Anda inginkan dari orang lain, itulah yang juga Anda lakukan pada orang lain.
2.      Etos Bisnis

Etos bisnis adalah suatu kebiasaan atau budaya moral yang menyangkut kegiatan bisnis yang dianut dalam suatu perusahaan dari generasi ke generasi yang lain. Inti etos bisnis adalah pembudayaan atau pembiasaan penghayatan akan nilai, norma, atau prinsip moral tertentu yang dianggap sebagai inti kekuatan dari suatu perusahaan yang sekaligus juga membedakannya dari perusahaan yang lain. Wujudnya bisa dalam bentuk pengutamaan mutu, pelayanan, displin, kejujuran, tanggung jawab, perlakuan yang fair tanpa diskriminasi, dan seterusnya.
Umumnya etos bisnis ini pertama dibangun atas dasar visi atau filsafat bisnis pendiri suatu perusahaan sebagai penghayatan pribadi orang tersebut mengenai bisnis yang baik. Etos inilah yang menjadi jiwa yang menyatukan sekaligus juga menyemangati seluruh karyawan untuk bersikap dan berpola perilaku yang kurang lebih sama berdasarkan prinsip yang dianut oleh perusahaan tersebut.
Secara lebih jelas, pada tingkat pertama adalah nilai. Nilai adalah apa yang diyakini sebagai hal yang paling mendasar dalam hidup ini dan menyangkut kondisi yang didambakan dan paling penting bagi seseorang atau kelompok orang dan sekaligus paling menentukan dalam hidup orang atau kelompokorang lain.

3.      Relativitas Moral dalam Bisnis

Menurut De George, kita perlu melihatterlebih dahulu 3 pandangan yang umum dianut. Pandangan pertamaadalah bahwa norma etis berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Artinya, dimana saja suatu perusahaan beroperasi, ikuti norma dan aturan moral yang berlaku dalam negara tersebut. Pandangan keduaadalah bahwa norma sendirilah yang paling benar dan tepat. Karena itu prinsip yang harus dipegang adalah “bertindaklah dimana saja sesuai dengan prinsip yang dianut dan berlaku dinegaramu sendiri.” Pandangan ketiga adalah pandangan yang disebut De George immoralis naif yang mengatakan bahwa tidak ada norma moral yang perlu diikuti sama sekali. Karena pandangan yang ketiga sama sekali tidak benar, maka tidak kita bahas disini.
Menurut De George prinsip yang paling pokok yang berlaku universal, khususnya dalam bisnis adalah prinsip integritas pribadi atau integritas moral.
Ada dua keunggulan prinsip integritas pribadi dibandingkan dengan prinsip lainnya. Pertama, prinsip integritas pribadi tidak punya konotasi negative seperti halnya pada prinsip – prinsip moral lainnya, bahkan pada kata etika dan moralitas itu sendiri. Bagi banyak orang, kata etika, apalagi prinsip etika, mempunyai nada moralitas dan paksaan dari luar. Kedua, bertindak berdasarkan integritas pribadi berarti bertindak sesuai dengan norma – norma perilaku yang diterima dan dianut diri sendiri dan juga berarti memberlakukan pada diri sendiri norma – norma juga dianut oleh etika dan moralitas. Dengan kata lain, prinsip integritas pribadi mengandung pengertian bahwa norma yang dianut adalah norma yang sudah diterima menjadi milik pribadi dan tidak lagi bersifat eksternal.

4.      Pendekatan Stakeholder

Pendekatan stake-holder adalah cara mengamati dan menjelaskan secara analitis bagaimana berbagai unsur dipengaruhi dan mempengaruhi keputusan dan tindakan bisnis. Pendekatan ini mempunyai tujuan imperatif: bisnis dijalankan sedemikian rupa agar hak dan kepentingan semua pihak terkait yang berkepentingan(stakeholder) dengan suatu kegiatan bisnis dijamin, diperhatikan, dan dihargai.
Dasar pemikirannya adalah bahwa semua pihak yang punya kepentingan dalam suatu kegiatan bisnis terlibat di dalamnya karena ingin memperoleh keuntungan, maka hak dan kepentingan mereka harus diperhatikan dan dijamin. Ini berarti, pada akhirnya pendekatan stakeholder menuntut agar bisnis apapun perlu dijalankan secara baik dan etis justru demi menjamin kepentingan semua pihak yang terkait dalam bisnis tersebut. Yang juga menarik adalah bahwa sama dengan prinsip no harm, pendekatan ini pun memperlihatkan secara sangat gambling bahwa pada akhirnya pendekatan ini pun ditempuh demi kepentingan bisnis perusahaan yang bersangkutan. Artinya, supaya bisnis dari perusahaan itu dapat berhasil dan bertahan lama, perusahaan manapun dalam kegiatan bisnisnya dituntut, atau menuntut dirinya, untuk menjamin dan menghargai hak dan kepentingan semua pihak yang terkait dengan bisnisnya.
Pada umumnya ada 2 kelompok stakeholders: kelompok primer dan kelompok sekunder. Kelompok primer terdiri dari pemilik modal atau saham, kreditor, karyawan, pemasok, konsumen, penyalur, dan pesaing atau rekanan. Kelompok sekunder terdiri dari pemerintah setempat, pemerintah asing, kelompok social, media massa, kelompok pendukung, masyarakat pada umumnya, dan masyarakat setempat. Yang paling penting diperhatikan dalam suatu kegiatan bisnis tentu saja adalah kelompok primer karena hidup matinya, berhasil tidaknya bisnis suatu perusahaan sangat ditentukan oleh relasi yang saling menguntungkan yang dijalin dengan kelompok primer tersebut. Perusahaan tersebut harun menjalin relasi bisnis yang baik dan etis dengan kelompok tersebut: jujur, bertanggung jawab dalam penawaran barang dan jasa, bersikap adil terhadap mereka, dan saling menguntungkan satu sama lain.

sumber
http://tiwi10.blogspot.co.id/2015/09/prinsip-prinsip-etika-bisnis.html

Jumat, 14 Oktober 2016

ETIKA BISNIS


NAMA            : NURROHMAH ARUM MULYANDINI
NPM                           : 16213697
KELAS           : 4EA03




Minggu lalu kita sudah membahas tentan grelevansi antara bisnis dan etika. Relevansi adalah sebuah hubungan atau keterkaitan antara dua hal atau lebih. Minggu ke-3 ini kita akan membahas tentang kasus-kasus dunia usaha yang berkaitan denga etika bisnis. Kasus-kasus yang ada akan di sajikan dalam blog ini seperti tiskusi (asking question). Baiklah, kita mulai dari kasus yang pertama :


Napster’s Revolution

1.      Apakah permasalahan legal yang ada dalam kasus ini, dan apakah persoalan moralnya?

Permasalahan legal yang dihadapi adalah bahwa perusahaan napster yang melakukan copyfile musik melalui internet yang kemudian dianggap merugikan dari pihak musisi dan perusahaan musik rekaman.Moral dari persoalan tersebut adalah dari pendukung napster memandang hal itu baik dan benar karena napster hanya melakukan berbagi file melalui website dan masih dalam wilayah publik yang legal sedangkan dari pendukung si musisi hal ini dianggap buruk karena dapat menurunkan penjualan kopi musik mereka dan dapat menurunkan nilai seni yang dihasilkan karena tidak dihargai.

2.      Bagaimanakah perbedaan kedua masalah itu dan bagaimanakah hubungannya ?

Dalam permasalahan legal Napster sudah jelas salah karena melanggar hak cipta dari para pimilik karya musik tersebut, tetapi secara moral Napster bisa dikatakan benar juga karena ada keinginan membagi sesuatu yang ada, dikatakan salah karena membagikan file secara Cuma-Cuma kepada semua pengguna tanpa memikirkan/memperhatikan pihak yang lain. Dan bisa juga dikatakan sebagai pencuri karena mengambil keuntungan bagi diri sendiri dengan menyebarkan karya orang lain.

3.      Identifikasikan dan bedakanlah persoalan sistemik, korporat, dan individual yang ada dalam kasus ini !

ü  Persoalan Sistemik : Mengenai sistem hukum yang ada di California. Apakah dibenarkan untuk membagi dan bertukar file melalui website, dan apakah ada aturan yang memuat hukum-hukum tentang teknologi Internet.

ü  Persoalan Korporat : Moralitas dari Napster yang memiliki usaha yang merugikan pihak lain (perusahaan musik & para musisi) serta mengambil keuntungan sendiri tanpa mengindahkan pihak-pihak yang memiliki hak cipta secara legal.


ü  Persoalan Individual : Apakah keputusan Shawn untuk mengembangkan ide briliantnya tentang penggunaan teknologi dengan mengembangkan website Napster yang dapat mengkopi file-file secara gratis tanpa ada persetujuan dari para pemilik hak cipta yang sah, adalah perbuatan yang dapat dibenarkan ?

4.      Apakah secara moral shawn Fanning bersalah mengembangkan dan meluncurkan teknologi jika mengetahui konsekuensi yang mungkin timbul ?

Secara moral memang salah,karena jika shawn sudah tahu akibat dari konsekuensi yang ditimbulkan dari perbuatannya tetapi masih dilakukan maka shawn telah bertidak secara imoral yang dapat merusak hajat dari orang yang bersangkutan.

5.      Apakah Napster, perusahaan itu secara moral bertanggung jawab ?

Jelas, Napsterlah yang memiliki tanggung jawab paling besar, karena perusahaan tersebtlah yang mendapatkan keuntungan paling besar tanpa memikirkan pihak lain yang secara legal memiliki file-file tersebut.

6.      Apakah  Shawn Fanning secara moral bertanggung jawab ?

Secara moral, Shawn tidak bertanggung jawab secara penuh karena dia hanya membantu Napster untuk mengembangkan websitenya dengan teknologi baru agar dapat digunakan sebagai alat untuk saling bertukar file. $15 juta dolar yang ia terima merupakan balas jasa dari ide briliannya itu.

7.      Bagaimanakah jika seseorang tidak mengetahui bahwa musik itu berhak cipta atau tidak terpikir bahwa adalah ilegal menyalin musik yang berhak cipta ?

Kalau memang individu tersebut tidak mengetahui, ia tidak bersalah karena sebagai manusia kita berpikir untuk mendapatkan sesuatu secara efektif dan seefisien mungkin.

8.      Apakah Perusahaan musik berbagi tanggung jawab moral atas apa yang terjadi ? Bagaimanakah pendapat anda tentang teknologi seperti Napster, yang mungkin mengubah industri musik ? Dalam penilaian anda, apakah perubahan tersebut secara etis baik atau buruk ?

Tidak, karena perusahaan musik merupakan pihak yang dirugikan.  Teknologi seperti Napster sesungguhnya berguna supaya kita dapat bertukar file dengan mudah dan cepat. Perubahan tersebut secara etis baik apabila pemilik website dapat membagi keuntungan dengan perusahaan musik dan para musisi, dengan cara membuat suatu perjanjian bisnis, sehingga semua dapat merasakan keuntungannya. Baiklah, itu dia kasus yang pertama. Mari kita lanjutkan ke kasus yang ke dua :      



H.B . Fuller and the Street Children of Central Amerika

Produk resistol yang di hasilkan oleh H.B Fuller mengandung bahan kimia yang menyebabkan anak- anak di San Pedro Sula, Hnduras kecannduan menghirup uap resistol dan dapat menyebakan cacat permanen. Karena didalam situasi ekonomi negara yang buruk serta kondisi keluarga yang sangat miskin, anak – anak tersebut menghirup uap resistol agar dapat behalusinasi bahwa orang tua merekka seolah- olah sangat memperhatikan mereka.

Sudut pandang masing- masing pihak adalah :

1.      Pihak Advokasi perlindungan anak
Kandungan kimia dalam produk resistol yang menyebabkan kecanduan dan cacat permanen bagi anak- anak tanggung jawabsepenuhnya perusahaan

2.      Pihak Perusahaan
Resistol merupakan bahan kimia yang dirancang untuk bahan perekat agar tahan terhadap air dan dapat merekatkan secara optimal. Penyalahgunaan resistol ini sudah diluar kendali perusahaan sebagaimana mestinya, padahal pada kaleng resistol tersebut sudah tercantum disclaimer yang menunjukan cara menggunakan produk dengan benar dan hati –hati. Namun hal ini tidak diperhatikan oleh anak- anak tersebut.

Pihak penjual eceran bertanggung jawab secara moral (moral responsibility) karena berdasarkan keinginan mereka sendiri (free will). pengecer yang mengetahui dampak penjualan resistol akan berakibat fatal bagi anak- anak, tetap menjual produk tersebut kepada anak- anak. Padahal perusahaan induk H.B Fuller sudah memberikan larangan kepada mereka untuk tidak menjual kepada anak – anak. Pihak pemerintah juga bertanggung jawab secara moral atas kejadian ini walaupun tidak sepenuhnya karena mereka mengetahui penyalahgunaan ini akan brakibatkan fatal namun tidak memberikan edukasi kepada masyarakat secara konsisten. Larangan dari pemerintah sudah dikeluarkan tapi penerapan tidak terjaga dengan baik.

Secara prinsip utilitarianisma pihak perusahaan sudah mengganti resistol dengan cyclohexane dan menaikan harga lem sebesar 30%, dalam hal ini bertujuan agar dampak penyalahgunaan resistol menjadi berkurang. Namun hal ini tidak menyelesaikan malah secara signifikasi karena kondisi ekonomi negara yang lebih  dari sepertiga masyarakat berada dalam kondisi miskin akan menyebabkan anak – anak dalam keluarga tersebut menjadi terlantar dan ada kemungkinan terjadinya penyalahgunaan bahan kimia pada anak – anak untuk membuat mereka berhalusinasi bahwa orang tua mereka seolah – olah sangat memperhatikan mereka





Sumber : 





Jumat, 07 Oktober 2016

ETIKA BISNIS


NAMA            : NURROHMAH ARUM MULYANDINI
NPM               : 16213697
KELAS           : 4EA03
RELEVANSI ANTARA ETIKA DAN BISNIS
Etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.
Etika Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham, masyarakat.
Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
Etika Bisnis dapat menjadi standar dan pedoman bagi seluruh karyawan termasuk manajemen dan menjadikannya sebagai pedoman untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan dilandasi moral yang luhur, jujur, transparan dan sikap yang profesional.
Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan wilayah abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.
Etika bisnis adalah pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis. Moralitas berarti aspek baik atau buruk, terpuji atau tercela, dan karenanya diperbolehkan atau tidak, dari perilaku manusia. Moralitas selalu berkaitan dengan apa yang dilakukan manusia, dan kegiatan ekonomis merupakan suatu bidang perilaku manusia yang penting.
Pentingnya etika bisnis tersebut berlaku untuk kedua perspektif, baik di lingkup makro maupun di ingkup mikro. Perspektif makro adalah pertumbuhan suatu negara tergantung pada market system yang berperan lebihefektif dan efisien daripada command system dalam mengalokasikan barang dan jasa. Perspektif mikro adalah dalam lingkup ini perilaku etik identik dengan kepercayaan atau trust kepada orang yang mau diajak kerjasamanya.
Etika bisnis merupakan suatu rangkaian prinsip/aturan/norma yang harus diikuti apabila menjalankan bisnis. Etika sebagai norma dalam suatu kelompok bisnis akan dapat menjadi pengingat anggota bisnis satu dengan lainnya mengenai suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang selalu harus dipatuhi dan dilaksanakan. Etika didalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam lingkungan bisnis yang terkait tersebut.
Etika bisnis terkait dengan masalah penilaian terhadap kegiatan dan perilaku bisnis yang mengacu pada kebenaran atau kejujuran berusaha (bisnis). Kebenaran disini yang dimaksud adalah etika standar yang secara umum dapat diterima dan diakui prinsip-prinsipnya baik oleh masyarakat, perusahaan dan individu. Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
Untuk terciptanya etika didalam bisnis yang sesuai dengan budi pekerti luhur, ada beberapa yang perlu diperhatikan, antara lain :
1.      Pengendalian diri
2.      Pengembangan tenggung jawab sosial
3.      Mempertahankan jati diri
4.      Menciptakan persaingan yang sehat
5.      Menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Perusahaan yang merupakan suatu lingkungan bisnis juga sebuah organisasi yang memiliki struktur yag cukup jelas dalam pengelolaannya. ada banyak interaksi antar pribadi maupun institusi yang terlibat di dalamnya. Dengan begitu kecenderungan untuk terjadinya konflik dan terbukanya penyelewengan sangat mungkin terjadi. baik di dalam tataran manajemen ataupun personal dalam setiap tim maupun hubungan perusahaan dengan lingkungan sekitar. untuk itu etika ternyata diperlukan sebagai kontrol akan kebijakan, demi kepentingan perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu kewajiban perusahaan adalah mengejar berbagai sasaran jangka panjang yang baik bagi masyarakat.Berikut adalah beberapa hubungan kesaling tergantungan antara bisnis dengan masyarakat.
1.      Hubungan antara bisnis dengan langganan / konsumen
Hubungan antara bisnis dengan langgananya adalah hubungan yang paling banyak dilakukan, oleh karena itu bisnis haruslah menjaga etika pergaulanya secara baik. Adapun pergaulannya dengan langganan ini dapat disebut disini misalnya saja :
-          Kemasan yang berbeda-beda membuat konsumen sulit untuk membedakan atau mengadakan perbandingan harga terhadap produknya.
-          Bungkus atau kemasan membuat konsumen tidak dapat mengetahui isi didalamnya,
-          Pemberian servis dan terutama garansi adalah merupakan tindakan yang sangat etis bagi suatu bisnis.
2.      Hubungan dengan karyawan
Manajer yang pada umumnya selalu berpandangan untuk memajukan bisnisnya sering kali harus berurusan dengan etika pergaulan dengan karyawannya. Pergaulan bisnis dengan karyawan ini meliputi beberapa hal yakni : Penarikan (recruitment), Latihan (training), Promosi atau kenaikan pangkat, Tranfer, demosi (penurunan pangkat) maupun lay-off atau pemecatan / PHK (pemutusan hubungan kerja).
3.      Hubungan antar bisnis
Hubungan ini merupakan hubungan antara perusahaan yang satu dengan perusahan yang lain. Hal ini bisa terjadi hubungan antara perusahaan dengan para pesaing, grosir, pengecer, agen tunggal maupun distributor.
4.      Hubungan dengan Investor
Perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas dan terutama yang akan atau telah “go publik” harus menjaga pemberian informasi yang baik dan jujur dari bisnisnya kepada para insvestor atau calon investornya. prospek perusahan yang go public tersebut. Jangan sampai terjadi adanya manipulasi atau penipuan terhadap informasi terhadap hal ini.
5.      Hubungan dengan Lembaga-Lembaga Keuangan
Hubungan dengan lembaga-lembaga keuangan terutama pajak pada umumnya merupakan hubungan pergaulan yang bersifat finansial.

DAFTAR PUSTAKA